Sabtu, 11 Juni 2016

Analogi Hujan

Butir -butir, rintik lalu deras
Satu mengenai sudut bibir
Asin dirasa
Kiranya aku adalah air laut
Bagaimana kiranya.


Kalau saja waktu itu suhunya tidak naik
Kalau saja pancaran cahayanya tidak merasuk tubuh
Aku masih bisa hidup normal bersama kawananku
Aku tidaklah uap
Ini sangat tidak mengenakan
Terombang-ambing di udara
Tekadang arahnya bagus, kadang juga salah
Kumpulan kegamangan itu mengendap menjadi gumpalan
Memanglah indah awan itu
Tetapi semakin padat, jejal dan sesak
Maka aku kembali menjadi tubuh
Rintik hujan yang harus terjun bebas
Menahan sakit hantaman
Tapi biarlah,  terkadang hantamanku memberikan senyuman bahkan dinanti-nanti
Ditansh tandus misalnya
Tapi bisa juga menjadi elegi
Kawanan pemujaku biasanya lahir saat itu
Dikemasnyaku dalam huruf dan kertas
Ya mau bagaimana lagi
Nasbku nasabmu

Bagaiman kiranya
Kiranya aku adalah air laut
Asin dirasa
Satu mengenai sudut bibir
Butir-butir,  rintik, lalu deras


Rawamangun, 7 juni 16

Hati, Nafas dan pejaman Mata

Kuambil sedikit saja
Adanya nyeri
Rasanya penuh
Berat dan menekan;

Benci, rada itu kubenci
Tidak enak rasanya
Mak dari itu aku selalu menghindar
Segala apapun
Pancingan untuk ia keluar

Lebih baik geli lalu mengundang
Airmata dari pada kau.

Bogor, 11/06/16

Minggu, 24 April 2016

Sesudah Jungkat Jungkit


Di malam sesudah jungkat
Jungkit berkata asa
Mengapa engkau putus

Di malam sesudah jungkit
Tertawa rasa tawar
Sedih seperti asinnya laut tertumpah

Di malam sesudah jungkat
Menjadi tubuh lah utuh
Perginya rasa, serasa
Apa aku tak tau

Mengapa harus jungkir
Kalau kau bermula jungkit
Mengapa harus tawar
Karena memang sudah kenyang rasa



Dibawah Kantuknya Mega
WEP

Dibawah kantuknya mega
Sebuah tuturan di masa lalu berpijar
Lebih terang dari lampu jalan
Hingga masuk ke lembah dasar

Di bawah kantuknya mega
Cerita bunga bangkai mengudara
Kunci sebuah gubuk kecil salam lembah sanubari

Dibawah kantuknya mega
Menyentuh aral kokohku sedari dulu
Jejalan jejalan itu muncul lagi
Air mata pun mendobrak aral kokoh itu

Ku pejam mata lalu menyipit
Mega merona berganti pagi
Pagiku telah datang,
Pagiku memeluk hangat,
Pagiku berbinar indah
Kalau begini aku jadi bersalah
Kalau begini mataku yang berbinar
Masih bersama garis khayal yg tak bisa runtuh.
Tapi meruntuhkan aku sedasar bumi.